Sabtu, 19 Januari 2013

Jabariyah dan Qadariyah dalam Ilmu Kalam


Qadariah dan Jabariah 



I.    Pengertian dan Latar belakang Berdirinya paham ini

Munculnya perpecahan di kalangan k}harijiyyah dan akibat dari semangat agama yang berlebih-lebihan dari orang-orang tersebut lebih banyak timbul dari golongan orang-orang yang awam pengetahuannya di antara mereka yang tertarik dalam memahami Islam.
Peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan, Khalifah ketiga pada tahun 656 M di madinah membawa berbagai masalah-masalah perpecahan umat Islam dalam bidang politik dan teologi.
Dalam bidang teologi umat Islam terbagi dalam lima golongan yaitu: Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiah. Dalam bidang teologi peristiwa terbunuhnya Usman Bin Affan menimbulkan masalah iman dan kufur. Hal ini telah melegimasi adanya korelasi yang kuat antara politik dan teologi. Realitas tersebut melatari lahirnya berbagai aliran teologi sekaligus sekteisme di kalangan umat Islam.
Ada dua paham yang sangat menonjol dalam teologi Islam, yang mempersoalkan tentang kebebasan dan keterpaksaan manusia dalam mewujudkan perbuatannya. Pendapat yang mengatakan bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih dan menekan tindakannya sendiri  melahirkan paham Qadariah
Nama Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan.
Sementara pendapat yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan, melahirkan paham jabariah. Nama ini berasal dari kata jabara  yang mengandung arti memaksa.
Lahirnya aliran-aliran dalam teologi Islam, turut memperbincangkan kedua paham tersebut. Kaum Mu’tazilah  umpamanya sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Syahrastani meskipun menentang sebutan qadariah yang diberikan kepada mereka, tetapi kenyataan dalam sistem teologi mereka, manusia dipandang mempunyai daya yang besar atas perbuatannya, sebaliknya aliran al-Asy’ariah karena dalam sistem teologi mereka manusia dipandang lemah dan tunduk kepada kehendak  Tuhan, maka mereka lebih dekat dengan paham Jabariah dari pada paham Qadariah.
Selanjutnya dalam makalah ini, akan diuraikan kedua paham tersebut : Paham Qadariah dan Jabariah beserta pemuka-pemuka dan ajarannya masing-masing.
II. Paham Qadariah dan Jabariah
Alam semesta termasuk manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Tuhan bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak dalam mengatur segala sesuatunya di alam raya ini. Kemudian timbul perdebatan di kalangan ahli-ahli ilmu kalam tentang sejauhmana batas kewenangan manusia dan campur tangan Tuhan sebagai pencipta dalam mengatur dan menetapkan perjalanan hidup manusia. Apakah Tuhan memberikan kemerdekaan kepada manusia dalam mengatur hidupnya, ataukah manusia tergantung sepenuhnya pada kehendak Tuhan, dan bagaimana pula keadilan Tuhan berhadapan dengan kehendak dan kekuasaan mutlakNya .
Penganut paham Qadariah berpendapat bahwa Allah swt, tidak memaksakan kehendaknya pada manusia dalam mengatur hidupnya, tetapi Allah swt memberikan kepada manusia kemampuan untuk berbuat sesuatu sehingga mereka bebas melakukan apa saja yang diinginkannya, dan sebagai konsekuensinya manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya. paham Qadariah  dalam teologi barat dikenal dengan istilah free will dan free act.
Adapun ayat-ayat yang membawa kepada paham Qadariah dalam al-Qur’an disebutkan antara lain :
وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر
Terjemahan : ”kebenaran datang dari tuhanmu,  siapa yang mau, percayalah ia, siapa yang mau, janganlah ia percaya”, (Q.S al-Kahfi 18-29).
اعملوا ما شئتم انه بما تعملون بصير
Terjemahnya : ”Buatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya ia melihat apa yang kamu kerjakan”, (al-Fushilat 41) .

ان الله لايغير ما بقوم حتي يغيروا ما بانفسهم
Terjemahnya : ”Tuhan tidak akan merubah apa yang ada pada suatu bangsa, sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka”, (Q.S al-Ra’ad 13-11).
Sementara itu penganut paham Jabariah berpendapat sebaliknya, bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, sebab ia terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Manusia melakukan segala sesuatunya dalam keadaan terpaksa. Paham ini dalam teologi Barat dikenal dengan istilah fatalisme dan predestination.[10]
Paham Jabariah memandang bahwa Tuhan sebagai pencipta yang memiliki kekuasaan mutlak, dapat berbuat apa saja yang dikehendakiNya terhadap makhlukNya. Jika Tuhan menyakiti anak-anak kecil di hari kiamat, menjatuhkan hukuman bagi orang mukmin, atau memasukkan orang kafir ke dalam surga, maka Tuhan tidaklah berbuat salah dan z}a>lim, namun Tuhan masih tetap bersifat adil.
Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang membawa kepada paham Jabariah antar lain :
والله خلقكم وماتعملون
Terjemahnya : ”Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”,
(Q.S al-Shaffat 37-96).
مااصاب من مصيبة في الارض ولا في انفسكم الا في كتاب من قبل ان تبرأها.
Terjemahnya : ”Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan di dalam buku sebelum kami wujudkan”, (Q.S al-Hadid 57-22).
وما رميت اذ رميت ولكن الله رمي
Terjemahnya : ” Bukanlah engkau melontar ketika engkau melontar, tetapi Allah lah yang melontar, (Q.S al-Anfal 8-17).
وما تشاءون الا ان يشاء الله
Terjemahnya : ”Tidak kamu menghendaki, kecuali Allah menghendaki
(Q.S al-Insan 76-30).

A. Pemuka-pemuka Paham Qadariah
1.                  Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi
Timbulnya paham Qadariah dalam sejarah perkembangan teologi Islam tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun dari keterangan ahli-ahli teologi Islam, paham Qadariah tampaknya ditimbulkan pertama kali oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi. Menurut Ibnu Nabatah, Ma’bad dan Ghailan mengambil paham Qadariah dari seorang penduduk islam yang pada mulanya beragama kristen, lalu masuk Islam, dan akhirnya masuk kristen lagi[12]. Ma’bad al-Juhani mati terbunuh di tangan al-Hajjaj dalam sebuah pertempuran menentang kekuasaan Bani Umayyah pada tahun 80 H. Paham ini lalu dilanjutkan penyiarannya oleh Ghailan di Damaskus yang akhirnya mati dihukum bunuh oleh Hisyam Abd-Malik.[13].
Menurut Ma’bad dan Ghilan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam bertindak atau berbuat, setiap manusia memiliki kemerdekaan untuk melakukan apa saja, baik atau buruk sesuai kehendaknya. Paham yang dibawa oleh ma’bad dan Ghilan ini adalah paham Qadariah ekstrim, hal itu dipahami dari pandangan mereka yang memisahkan campur tangan Tuhan dalam perbuatan manusia secara mutlak, dan bahwa manusia bebas dalam segala tindakannya.
2.                  Washil ibn Atha
Beliau ini bernama lengkap Abu Huzaifah Washil ibn Atha al-Gazzal (tahun 80 sampai 131 H, atau 699 sampai 748 M.)[14]. Selama di Madinah Washil belajar agama pada Abu Hasyim Abdullah ibn Muhammad al-Hanafiyah[15], setelah Abu Hasyim wafat, Washil pindah ke Basrah dan belajar pada Imam al-Hasan al-Basri[16].
Dalam pandangan washil ibn ’Ata, Tuhan bersifat bijaksana dan adil. Ia tidak dapat berbuat jahat dan bersifat z}a>lim. Tuhan tidak mungkin menghendaki agar manusia berbuat hal-hal yang bertentangan dengan perintahNya. Manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahat, iman dan kufurnya, kepatuhan dan ketidakpatuhannya kepada Tuhan. Atas perbuatan-perbuatannya ini, manusia memperoleh balasan, untuk itu Tuhan memberikan daya kepadanya, tidak mungkin Tuhan menurunkan perintah kepada manusia untuk berbuat sesuatu, jika manusia tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk berbuat[17]
Beliau wafat dengan meninggalkan karya-karya intelektual yang cemerlang sebagai tokoh besar pewaris mazhab Mu’tazilah dengan meninggalkan beberapa pemikiran yang terangkum dalam kitab-kitab yang berkembang di masanya di antaranya adalah : al-Manzilah bain al-Mansilatain, Asnaf al-Murjiah, al-Kutub fi al-Tauhid wa al-Adl[18] dan masih banyak lagi yang belum sempat disebutkan.
3. Ibrahim al-Naz}z}a>m
Nama lengkapnya adalah Ibrahim Ibn Sayyar Ibn Hani al-Naz}z}a>m pendiri firq}ah ’’al-Naz}z}a>miyyah’’ . Dia lahir di Basrah pada tahun 185 H, dan meninggal dalam usia muda pada tahun 221 H. Literatur mengenai al-Nazhzhan memberikan gambaran tentang dirinya sebagai orang mempunyai kecerdasan yang lebih besar dari gurunya Abu Huzail. Ia juga banyak mempunyai hubungan dengan filsafat Yunani.
Dalam membahas soal keadilah Tuhan, Abu Huzail berpendapat bahwa Tuhan berkuasa untuk berbuat z}a>lim., tapi mustahil Tuhan bersikap z}a>lim., karena itu membawa kepada kurang sempurnanya sifat Tuhan. Al-naz}z}a>m, berlainan dengan gurunya, ia berpendapat bahwa bukan hanya mustahil bagi Tuhan bersikap z}a>lim., bahkan Tuhan tidak berkuasa untuk bertindak z}a>lim... Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai qudrah untuk berbuat yang salah dan jahat, perbuatan demikian tidak termasuk dalam kekuasaan Tuhan. Alasan yang dimajukan al-Naz}z}a>m ialah bahwa hanya ke z}a>lim.an dilakukan oleh orang yang mempunyai cacat dan berhajat atau oleh orang yang tidak mempunyai pengetahuan (jahil). Tidak mempunyai pengetahuan dan berhajat adalah sifat yang tidak kekal, dan Tuhan maha suci dari sifat-sifat yang demikian[19]. Oleh karena itu an-Nazhzhan berpendapat Tuhan tidak bisa dan tidak sanggup berbuat yang tidak baik, dan seterusnya wajib bagi Tuhan untuk berbuat hanya yang baik bagi manusia, yaitu apa yang disebut dalam istilah al-S}alah wa al-As}lah, sehingga ia berpendapat bahwa Tuhan tak berkuasa untuk mengeluarkan orang yang telah menjadi ahli surga dari surga dan memasukan orang yang bukan ahli neraka ke dalam neraka, dan pula Tuhan tak berkuasa untuk mengurangi kesenangan ahli surga atau menambah siksaan ahli neraka.
Selanjutnya sama seperti gurunya, ia berpendapat bahwa Tuhan tanpa adanya wahyu dapat diketahui manusia dengan perantaraan kekuatan akal. Demikian pula halnya dengan perbuatan buruk dan perbuatan baik.
4. Al-Jubbai
Nama lengkapnya ialah Abu Ali Muhammad Abd al-Wahhab al-Jubbai. Ia menimba ilmu Ibn Yusuf Ya’quf Ibn Abdullah al-Syiham al-Basri dan termasuk mazhab Mu’tazilah yang masyhur. Ia wafat 295 H. Dan termasuk banyak menulis kitab-kitab teologi antara lain: Kitab al-Ushul, Kitab Asma wa al-S}ifat, Kitab al-Nafyi wa al-Istbat, Kitab al-Ta’dil wa al-Tajrir, Kitab al-Lathif, Kitab al-Tauhid, kitab al-Ru’yat. Dalam kajian tafsir al-Jubbai mempunyai kitab yang bermazhab Mu’tazilah yang terpenting, seperti Muqaddima al-Tafsir, Mutasyabihah al-Qur’an..
Al-Jubbai dalam menanggapi perbuatan manusia menyatakan bahwa sebelum melakukan perbuatan, daya untuk berbuat sesuatu telah ada dalam diri manusia sebelum perbuatan dilakukan, dan daya itu merupakan sesuatu di luar tubuh yang baik lagi sehat. Ia menambahkan bahwa ajaran-ajaran yang dibawa oleh para nabi diperlukan manusia untuk mengenal besarnya balasan dan hukuman terhadap perbuatan-perbuaan manusia. Akal manusia hanya dapat mengetahui bahwa orang yang patuh kepada Tuhan akan mendapatkan upah dan bahwa orang yang melawan Tuhan akan mendapatkan hukuman, dan melalui wahyulah manusia mengetahui berapa besar upah atau hukuman itu
B. Pemuka-pemuka Paham Jabariah
1.      Al-Ja’ad ibn Dirham dan Jahm ibn Safwan
Paham Jabariah ini ditonjolkan pertama kali dalam sejarah teologi Islam oleh  al-Ja’ad ibn Dirham yang hidup pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm ibn Safwan dari Khurasan. Ia mempelajari Paham tersebut dari al-Ja’ad ibn Dirham, ketika mereka bertemu di Kufah. Sebagaimana al-Ja’ad, Jahm turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah dan mati dihukum bunuh pada tahun 131 H dalam gerakan tersebut.
Masyarakat Arab telah dipengaruhi oleh esensi paham Jabariah sebelum datangnya Islam. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya ketergantungan mereka kepada alam dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membawa kepada sikap fatalistis.[22] Jahm berpendapat bahwa manusia tidak memiliki daya dan kekuasaan apa-apa, tidak mempunyai kecenderungan dan pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya terpaksa dan tunduk pada kemauan Tuhan semata. Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan pada diri manusia, sebagaimana Tuhan menciptakan benda-benda mati. Perbuatan manusia dalam pandangan Jahm bermaksna majasi atau kiasan. Ia tak ubahnya sebagaimana pohon berbuah , air mengalir, matahari terbit dan terbenam dan sebagainya. Segala perbuatan manusia dipaksakan atas dirinya sebagaimana menerima pahala dan siksaan.[23]
Dalam pada itu, paham yang dibawa oleh Jahm dapat dikategorikan  sebagai paham Jabariah ekstrim. Betapa tidak segala perbuatan manusia dimata Jahm merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Jika seseorang membunuh umpamanya, maka perbuatan membunuh  itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qada’ dan kadar Tuhan yang menghendaki demikian. Manusia seperti kapas yang digerakkan angin, tanpa gerak dari Tuhan, manusia tak mampu berbuat apa-apa.
2.      Al-Husain ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar ibn Amr
Al-Najar adalah penganut paham Jabariah moderat yang wafat pada tahun 230 H. Al-Najjar berpendapat meskipun Tuhan yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, tetapi manusia mempunyai bahagian dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya, dan inilah yang disebut kasb. [24] Demikian pendapat Dirar ibn Amr, yang berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan Tuhan, dan diperoleh iktisaba  pada hakikatnya oleh manusia.[25]
Dengan demikian paham yang dibawa oleh al-Najjar dan Dirar, manusia tidak lagi hanya merupakan kapas yang digerakkan angin, namun manusia telah mempunyai bahagian yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Menurut paham ini, Tuhan dan manusia dianggap bekerjasama mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia.
Tampaknya paham kasb yang dikembangkan oleh al-Najjar dan Dirar, merupakan paham tengah antara faham Jabariah dan Qadariah.


        3. Abu al-Hasan al-Asy’ari
Abu al-Hasan al-Asy’ari dilahirkan di Basrah pada tahun 260 H dan wafat di baghdad pada tahun 324 H. Pada mulanya ia adalah murid al-Jubbai dan menganut paham Mu’tazilah selama 40 tahun, sehingga menjadi salah seorang pemuka Mu’tazilah. Namun karena alasan-alasan yang kurang begitu jelas, al-Asy’ari akhirnya meninggalkan Mu’tazilah.
Bagi al-Asy’ari, manusia dipandang lemah dan dalam kelemahannya banyak bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan, al-Asy’ari memakai kata al-kasb. Dia menunjuk firman Allah (Q.S. al-Safat, 37 )
والله خلقكم وماتعملون
Terjemahnya : ”Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat ” (al-shafat 37-96). Wa ma>ta’malu>n, diartikan oleh al-Asy’ari dengan ”apa yang kamu perbuat” dan bukan ”apa yang kamu buat”. Dengan demikian, ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Jadi dalam pandang al-Asy’ari, perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan dan tidak ada pembuat (fail atau agen) bagi al-kasb  kecuali Allah.
Selanjutnya dalam memperbincangkan soal kehendak Tuhan, al-Asy’ari menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Dalil yang digunakan untuk memperkuat pendapatnya adalah firman Allah. Q.S. al-Insan (76),30

وما تشاءون الا ان يشاء الله
Terjemahnya : ”Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki ”
Al-Insan (76-30).
al-Asy’ari mengartikan bahwa manusia tidak bisa menghendaki sesuatu kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu.[29] Dengan demikian, seseorang tidak bisa menghendaki pergi ke Baitullah, kecuali jika Tuhan menghendaki seseorang itu supaya berkehendak pergi ke Baitullah. Hal ini berarti, kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan dan bahwa kehendak yang terdapat dalam diri manusia sebenarnya tidak lain adalah dari kehendak Tuhan.
4. Abu Hamid al-Gazali
Dia adalah pengikut al-Asy’ari yang terpenting, ia juga menganut paham Jabariah yang pada dasarnya sejalan dengan al-Asy’ari tentang perbuatan manusia dan keadilan Tuhan yang memberi hukuman menurut kehendak mutlakNya[30]

III. Kesimpulan
Persoalan manusia dalam mewujudkan perbuatannya, melahirkan dua paham : Qadariah dan Jabariah, paham Qadariah memandang manusia mempunyai daya dan kebebasan dalam mewujudkan perbuatannya, sementara paham Jabariah memandang sebaliknya.
Adapun kaitannya dengan keadilan Tuhan, maka paham Jabariah memandangnya sebagai keadilan Penguasa Absolut, Tuhan mempunyai kebebasan mutlak dan berbuat menurut apa yang dikehendakinya. Sebaliknya paham Qadariah memandangnya sebagai keadilan penguasa konstitusional, dimana Tuhan tidak memiliki kekuasaan mutlak karena dibatasi oleh keadilan-Nya.
Menilik dari sudut pandang akidah, kedua paham tersebut tidaklah bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh sebab itu, menganut salah satu dari kedua paham tersebut, tidaklah menyebabkan seseorang keluar dari Islam.



DAFTAR PUSTAKA

Abul A’la Al-maududi, al-K{hilafah wa al-Mulk, Dar- al-Qalam , (Kuwait; T. Tp. 1987)
Ahmad Amin, al-Fajr al-Isla>m, (Kairo; Dar al-Kutub, 1975
Ali Musthafa al-Ghurabi, Ta>rikh al-firaq al-Isla>miah, (Kairo. Dar al-Kutub, t. th)
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta; UI press 1987)
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah, Jakarta, Jakarta; UI Press, 1986)
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teologi Filsafat Islam, (Jakarta; Bumi Aksara 1995)
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta; Bulan Bintang, 1994)
Nurcholis Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta; Yayasan Wakaf Paramadina 1994)
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta; Yayasan Wakaf Paramadina, 1992)
Al-Syahrastani, al-Mila>l wa al-Niha>l,  (Kairo; Musthafa al-Ba>bi al-Halabi, 1968)
Toshiku Izutsu, Konsep kepercayaan dalam teologi Islam, (Jogya; Tiara Wacana, 1994)




Ma'rifah dan Nakirah


Pengertian Nakirah dan Makrifat

Sebelum melangkah lebih jauh kita harus mengetahui bahwa Isim dapat dibedakan secara umum dan khusus yang disebut dengan isim nakirah dan makrifat.
1.    Nakirah
Isim nakirah adalah isim yang belum ditentukan untuk menunjukkan kata benda yang mana, yang bagai mana, adanya dimana, milik siapa, dan sebagainya,sehingga tidak bias menyebutkan atau menunjukkan benda tersebut, karena maknanya bersifat umum.[1]
2.    Makrifar
Isim makrifat adalah isim yang mempunyai kandungan makna tertentu sehingga antara pembicara dan pendengar sudah mengetahui apa yang dimaksud.[2]

A.      Tanda-tanda Nakirah dan Makrifat
Apa bila kita ingin membahas masalah tanda-tanda mengenai nakirah dan makrifat, kita harus membahas terlebih dahulu haitu :
1.    Nakirah
a.       Huruf akhirnya yang bertanwin ( ً  ٍ  ٌ )[3]
b.      Biasanya tidak ditandai dengan huruf Alif-Lam ( ال )
c.       Tidak jelas
Contohnya :
ذَلِكَ بَيْتٌ. اَلْبَيْتُ كَبِيْرٌ    

Artinya : Rumah itu baru. Itu sebuah rumah
2.    Makrifat
a.       Dibubuhi dengan huruf Alif-Lam ( ال ) di awalnya[4]
Contohnya :
جَاءَ وَلَدٌ. اَلْوَلَدُ مُؤَدِّبٌ.

Artinya : Anak itu sopan.Datang seorang anak.
b.      Jika dalam keadaan idhafat
Idhafat adalah dua isim yang disatukan sehingga menimbulkan arti yang baru seperti kata  مسجد الحرم kata tersebut berasal dari dua kata dan artinya pun berbeda, yang satu artinya tempat sujud dan yang satu larangan berbuat keji dan mungkar.
c.       Jika kata yang di-idhafat-kan kepada kata tunjuk (isim isyarah)
Contohnya :

 
Artinya : Maka hendaklah mereka menyembah tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah)
d.      Jika kata yang terletak setelah kata tunjuk yang dibubuhi dengan huruf Alif-Lam ( ال )
Contohnya :
              Artinya : Inilah kitab (Al-qur’an)
e.       Jika kata ganti (isim dhamir)
Contohnya :
انت كاتب الدرس
Artinya : Kamu sedang menulis pelajaran
f.       Jika kata sambung(isim mausul)

الزين يرثون الفردوس
Artinya : Yang akan mewarisi surge firdaus
g.      Jika kata tunjuki (isim isyarah)
Contohnya :
هزا كتب
Artinya : ini sebuah buku
h.      Jika isim alam
Isim alam adalah kata yang menunjukkan suatu nama orang atau diri, gelar, tempat atau nama semacam gelar[5].
                  Contohnya :
                  Artinya : Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul.

B.       Sebab-sebab Penggunaan Nakirah dan Makrifat
1.      Nakirah
a.    Menginginkan makna tunggal, seperti:
 وَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَقْصَى الْمَدِيْنَةِ
Artinya : Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota
Maksudnya adalah satu orang laki-laki.
b.    Menginginkan jenisnya, seperti:
 هَذَا ذِكْرٌ
Artinya : Ini adalah peringatan
وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ
Artinya : Dan pada penglihatan-penglihatan mereka itu ada penutup.
Maksudnya adalah semacam penutup yang asing yang tidak dikenal oleh para manusia dengan cara menutup terhadap sesuatu yang tidak dapat ditutupi oleh penutup-penutup yang lain.
c.     Ta’dzim (pengagungan), dalam pengertian bahwa dia adalah lebih agung daripada jika dijelaskan atau disebutkan, seperti :
 فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ
Artinya : Maka umumkanlah perang
Maksudnya adalah dengan peperangan apa saja.
d.    Taktsir (memperbanyak), seperti:
 أَئِنَّا لَنَا لأَجْرًا
Artinya : Apakah kami akan mendapatkan ganjaran).
Maksudnya adalah yang sempurna yang banyak.
e.     Tahqir (meremehkan) maksudnya adalah terperosoknya nilainya sampai kepada suatu keadaan dimana dia tidak layak untuk dijelaskan. Seperti :
 إِنْ نَظُنُّ إِلاَّ ظَنَّا
Artinya : Kamu tidak lain hanyalah berprasangka dengan suatu prasangka
Maksudnya adalah prasangka hina yang tidak dapat dijadikan sebagai pedoman. Jika tidak demikian, maka mereka pasti mengikutinya, karena itulah kebiasaan mereka.
f.     Taqlil (menyedikitkan), seperti :
 وَ رِضْوَانٌ مِنَ اللهِ أَكْبَرُ
Artinya : dan keridlaan dari Allah adalah lebih besar.
Maksudnya adalah keridlaan yang sedikit dari-Nya adalah lebih besar daripada surga-surga. Karena keridlaan-Nya adalah pincak setiap kebahagiaan. Sedikit dari-Mu Cukup untukku, tetapi Sedikit-Mu Tiada bisa dikatakan sedikit.[6]
2.      Makrifat
a.       Dengan cara menyebutkan isim ‘alam (nama), agar semula diketahui oleh pendengarnya dengan cara menyebutkan sebuah nama yang khusus baginya, seperti :
 قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد
Artinya : Katakanlah: “Dialah Allah yang satu
b.      Atau untuk memuliakan atau menghinakan, jika penyebutannya secara jelas mengharuskan hal itu. Contoh dari pemuliaan adalah penyebutan Ya’qub dengan gelarnya, Isra’il, karena nama itu dari Allah. Mengenai gelar ini ada dalam pembahasan khusus dalam Ilmu Tafsir (Ulumul Quran).[7] Dan contoh penghinaan adalah :
 تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ
Artinya : Celakalah Abu Lahab
Dan pada nama ini ada sebuah rahasia lain, yaitu sindiran bahwa dia termasuk penghuni Neraka Jahanam.
c.       Dengan menunjukkannya (isyarah) untuk membedakannya dengan pembedaan yang lebih sempurna serta menghadirkannya di dalam benak pendengar secara kasat mata, seperti:
 هَذَا خَلْقُ اللهِ فَأَرُوْنِى مَاذَا خَلَقَ الَّذِيْنَ مِنْ دُوْنِهِ
Artinya : Ini adalah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah kepadaku apa yang dapat diciptakan oleh yang selain-Nya.
d.      Untuk pemaparan karena ketidaktahuan pendengar, bahkan dia tidak mampu mengetahuinya kecuali dengan isyarat indrawi. Dan ayat ini cocok untuk contoh ini. Dan untuk menjelaskan sejauhmana kedekatan dan kejauhannya. Maka digunakan isim isyarah.
e.       Bermaksud untuk menghinakanmya dengan menggunakan kata penunjuk dekat, seperti perkataan kaum kuffar :
 أَهَذَا الَّذِى يَذْكُرُ ءَالِهَتَكُمْ
Artinya : mereka berkata: “Apakah ini orang yang mencela tuhan-tuhanmu.
f.       Untuk maksud mengagungkannya dengan menggunakan kata penunjuk jauh, seperti :
 ذَالِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ
 Artinya : Kitab itu tiada keraguan di dalamnya)
g.      Untuk lebih memberikan perhatian kepadanya dengan menggunakan kata penunjuk setelah sebelumnya disebutkan sifat-sifat yang menunjukkan bahwa hal itu memang layak untuk mendapat imbalan dari apa yang disebutkan setelahnya, seperti:
 أُولَئِكَ عَلَى هُدًا مِنْ رَّبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Artinya : Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang berbahagia.
h.      Atau dengan menggunakan isim maushul karena keengganan untuk menyebutkan nama spesialnya, yang mungkin disebabkan untuk menutupinya, menghinanya atau untuk tujuan lain. Seperti:
 وَالَّذِى قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا
Artinya : Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya: “Cis bagi kamu berdua”.
i.        Dan adakalanya dimaksudkan untuk tujuan umum, seperti pada firman Allah :
 إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا  
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang berkata: “Tuhanku adalah Allah”, kemudian mereka teguh pada pendiriannya.
j.        Atau kadang-kadang dimaksudkan untuk meringkas, seperti pada firman Allah Ta’ala:
لاَ تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ ءَاذَوْا مُوْسَى فَبَرَّأَهُ اللهُ
Artinya : Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang menyakiti Musa, kemudian Allah membebaskannya.
k.      Dan ma’rifah dengan idhafah karena keadaannya, yang merupakan jalan paling ringkas atau untuk mengagungkan mudlaf, seperti:
 إِنَّ عِبَادِيْ لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ
Artinya : Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak memiliki kemampuan terhadap mereka.
l.        Atau untuk maksud yang umum, seperti:
 فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ
Artinya : Maka hendaklah orang-orang yang melanggar perintah-Nya itu menjadi takut.
 Maksudnya adalah semua perintah-perintah Allah.


 










Kesimpulan
Berdasarkan uaraian di atas dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :
1.         Sesungguhnya nakirah dan makrifat itu sangatlah tidak sama  baik itu kaidahnya maupun kegunaannya.
2.         Ternyata nakirah dan makrifat yang ada didalam kaidah bahasa arab hanya digunakan dalam hal-hal yang sangat sering dijumpai didalam bahasa arab.
3.         Nakirah berlawanan dengan makrifat atau bahasa lainnya tanda-tanda nakirah berkebalikan dengan makrifat.