Qadariah dan Jabariah
I. Pengertian dan Latar belakang Berdirinya paham ini
Munculnya perpecahan di kalangan k}harijiyyah dan akibat dari semangat agama yang berlebih-lebihan dari orang-orang
tersebut lebih banyak timbul dari golongan orang-orang yang awam pengetahuannya
di antara mereka yang tertarik dalam memahami Islam.
Peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan, Khalifah ketiga
pada tahun 656 M di madinah membawa berbagai masalah-masalah perpecahan umat Islam
dalam bidang politik dan teologi.
Dalam bidang teologi umat Islam terbagi dalam lima
golongan yaitu: Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiah.
Dalam bidang teologi peristiwa terbunuhnya Usman Bin Affan menimbulkan masalah
iman dan kufur. Hal ini telah melegimasi adanya korelasi yang kuat antara
politik dan teologi. Realitas tersebut melatari lahirnya berbagai aliran
teologi sekaligus sekteisme di kalangan umat Islam.
Ada dua paham yang sangat menonjol dalam teologi Islam,
yang mempersoalkan tentang kebebasan dan keterpaksaan manusia dalam mewujudkan
perbuatannya. Pendapat yang mengatakan bahwa manusia mampu sepenuhnya memilih
dan menekan tindakannya sendiri
melahirkan paham Qadariah
Nama Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan.
Sementara pendapat yang mengatakan bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi
terikat pada kehendak mutlak Tuhan, melahirkan paham jabariah. Nama ini berasal
dari kata jabara yang mengandung
arti memaksa.
Lahirnya aliran-aliran dalam teologi Islam, turut
memperbincangkan kedua paham tersebut. Kaum Mu’tazilah umpamanya sebagaimana yang dijelaskan oleh
al-Syahrastani meskipun menentang sebutan qadariah yang diberikan kepada mereka, tetapi kenyataan dalam sistem teologi
mereka, manusia dipandang mempunyai daya yang besar atas perbuatannya, sebaliknya
aliran al-Asy’ariah karena dalam sistem teologi mereka manusia dipandang lemah
dan tunduk kepada kehendak Tuhan, maka
mereka lebih dekat dengan paham Jabariah dari pada paham Qadariah.
Selanjutnya dalam makalah ini, akan diuraikan kedua paham
tersebut : Paham Qadariah dan Jabariah beserta pemuka-pemuka
dan ajarannya masing-masing.
II. Paham Qadariah dan
Jabariah
Alam semesta termasuk manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan.
Tuhan
bersifat Maha kuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak dalam mengatur segala
sesuatunya di alam raya ini. Kemudian timbul perdebatan di kalangan ahli-ahli
ilmu kalam tentang sejauhmana batas kewenangan manusia dan campur tangan Tuhan
sebagai pencipta dalam mengatur dan menetapkan perjalanan hidup manusia. Apakah
Tuhan memberikan kemerdekaan kepada manusia dalam mengatur hidupnya, ataukah
manusia tergantung sepenuhnya pada kehendak Tuhan, dan bagaimana pula keadilan Tuhan
berhadapan dengan kehendak dan kekuasaan mutlakNya .
Penganut paham Qadariah berpendapat bahwa Allah
swt, tidak memaksakan kehendaknya pada manusia dalam mengatur hidupnya, tetapi
Allah swt memberikan kepada manusia kemampuan untuk berbuat sesuatu sehingga
mereka bebas melakukan apa saja yang diinginkannya,
dan sebagai konsekuensinya manusia mutlak bertanggung jawab atas segala
perbuatannya. paham
Qadariah dalam teologi
barat dikenal dengan istilah free will dan free act.
Adapun ayat-ayat yang membawa kepada paham Qadariah dalam al-Qur’an disebutkan antara lain :
وقل الحق من ربكم فمن شاء فليؤمن
ومن شاء فليكفر
Terjemahan
: ”kebenaran
datang dari tuhanmu, siapa yang mau,
percayalah ia, siapa yang mau, janganlah ia percaya”, (Q.S al-Kahfi 18-29).
اعملوا ما شئتم انه بما تعملون بصير
Terjemahnya
: ”Buatlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya ia melihat apa yang kamu
kerjakan”, (al-Fushilat 41) .
ان الله لايغير ما بقوم حتي يغيروا ما بانفسهم
Terjemahnya
: ”Tuhan tidak akan merubah apa yang ada pada suatu bangsa, sehingga mereka
merubah apa yang ada pada diri mereka”, (Q.S al-Ra’ad 13-11).
Sementara itu penganut paham Jabariah berpendapat sebaliknya, bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
menentukan kehendak dan perbuatannya, sebab ia terikat pada kehendak mutlak
Tuhan. Manusia melakukan segala sesuatunya dalam keadaan terpaksa. Paham ini dalam teologi Barat
dikenal dengan istilah fatalisme dan predestination.[10]
Paham Jabariah memandang bahwa Tuhan
sebagai pencipta yang memiliki kekuasaan mutlak, dapat berbuat apa saja yang
dikehendakiNya terhadap makhlukNya. Jika Tuhan menyakiti anak-anak kecil di hari
kiamat, menjatuhkan hukuman bagi orang mukmin, atau memasukkan orang kafir ke dalam
surga, maka Tuhan tidaklah berbuat salah dan z}a>lim, namun Tuhan masih tetap bersifat adil.
Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang membawa kepada paham Jabariah antar lain :
والله خلقكم وماتعملون
Terjemahnya
: ”Allah
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”,
(Q.S al-Shaffat
37-96).
مااصاب من مصيبة في الارض ولا في انفسكم الا في كتاب من قبل
ان تبرأها.
Terjemahnya
: ”Tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kamu, kecuali telah ditentukan di
dalam buku sebelum kami wujudkan”, (Q.S al-Hadid 57-22).
وما رميت اذ رميت ولكن الله رمي
Terjemahnya
: ” Bukanlah engkau melontar ketika engkau melontar, tetapi Allah lah yang
melontar, (Q.S al-Anfal 8-17).
وما تشاءون الا ان يشاء الله
Terjemahnya
: ”Tidak kamu menghendaki, kecuali Allah menghendaki
(Q.S al-Insan
76-30).
A. Pemuka-pemuka Paham Qadariah
1.
Ma’bad al-Juhani dan Ghailan
al-Dimasyqi
Timbulnya paham Qadariah dalam sejarah
perkembangan teologi Islam tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun dari
keterangan ahli-ahli teologi Islam, paham Qadariah tampaknya ditimbulkan pertama kali oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi.
Menurut Ibnu Nabatah, Ma’bad dan Ghailan mengambil paham Qadariah dari seorang penduduk islam yang pada mulanya beragama kristen, lalu masuk
Islam, dan akhirnya masuk kristen lagi[12]. Ma’bad al-Juhani mati
terbunuh di tangan al-Hajjaj dalam sebuah pertempuran menentang kekuasaan Bani
Umayyah pada tahun 80 H. Paham ini lalu dilanjutkan penyiarannya oleh Ghailan di
Damaskus yang akhirnya mati dihukum bunuh oleh Hisyam Abd-Malik.[13].
Menurut Ma’bad dan Ghilan bahwa manusia memiliki kebebasan
dalam bertindak atau berbuat, setiap manusia memiliki kemerdekaan untuk
melakukan apa saja, baik atau buruk sesuai kehendaknya. Paham yang dibawa oleh
ma’bad dan Ghilan ini adalah paham Qadariah ekstrim, hal itu
dipahami dari pandangan mereka yang memisahkan campur tangan Tuhan dalam
perbuatan manusia secara mutlak, dan bahwa manusia bebas dalam segala
tindakannya.
2.
Washil ibn Atha
Beliau ini bernama lengkap Abu Huzaifah Washil ibn Atha
al-Gazzal (tahun 80 sampai 131 H, atau 699 sampai 748 M.)[14].
Selama di Madinah Washil belajar agama pada Abu Hasyim Abdullah ibn Muhammad
al-Hanafiyah[15],
setelah Abu Hasyim wafat, Washil pindah ke Basrah dan belajar pada Imam
al-Hasan al-Basri[16].
Dalam pandangan washil ibn ’Ata, Tuhan bersifat bijaksana
dan adil. Ia tidak dapat berbuat jahat dan bersifat z}a>lim. Tuhan tidak mungkin menghendaki agar manusia berbuat hal-hal yang bertentangan
dengan perintahNya. Manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan
baik dan perbuatan jahat, iman dan kufurnya, kepatuhan dan ketidakpatuhannya
kepada Tuhan. Atas perbuatan-perbuatannya ini, manusia memperoleh balasan,
untuk itu Tuhan memberikan daya kepadanya, tidak mungkin Tuhan menurunkan
perintah kepada manusia untuk berbuat sesuatu, jika manusia tidak mempunyai
daya dan kekuatan untuk berbuat[17]
Beliau wafat dengan meninggalkan karya-karya intelektual
yang cemerlang sebagai tokoh besar pewaris mazhab Mu’tazilah dengan
meninggalkan beberapa pemikiran yang terangkum dalam kitab-kitab yang
berkembang di masanya di antaranya adalah : al-Manzilah bain al-Mansilatain, Asnaf al-Murjiah, al-Kutub fi al-Tauhid wa
al-Adl[18] dan masih banyak lagi
yang belum sempat disebutkan.
3. Ibrahim al-Naz}z}a>m
Nama lengkapnya adalah Ibrahim
Ibn Sayyar Ibn Hani al-Naz}z}a>m pendiri firq}ah ’’al-Naz}z}a>miyyah’’ . Dia lahir di Basrah pada tahun
185 H, dan meninggal dalam usia muda pada tahun 221 H. Literatur mengenai
al-Nazhzhan memberikan gambaran tentang dirinya sebagai orang mempunyai
kecerdasan yang lebih besar dari gurunya Abu Huzail. Ia juga banyak mempunyai
hubungan dengan filsafat Yunani.
Dalam membahas soal keadilah Tuhan,
Abu Huzail berpendapat bahwa Tuhan berkuasa untuk berbuat z}a>lim., tapi mustahil Tuhan bersikap z}a>lim., karena itu membawa kepada kurang sempurnanya sifat Tuhan. Al-naz}z}a>m, berlainan dengan gurunya, ia berpendapat bahwa
bukan hanya mustahil bagi Tuhan bersikap z}a>lim., bahkan Tuhan tidak berkuasa untuk bertindak z}a>lim... Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai qudrah untuk berbuat yang salah dan jahat, perbuatan demikian
tidak termasuk dalam kekuasaan Tuhan. Alasan yang dimajukan al-Naz}z}a>m ialah bahwa hanya ke z}a>lim.an dilakukan oleh orang yang mempunyai cacat dan berhajat atau oleh orang
yang tidak mempunyai pengetahuan (jahil). Tidak mempunyai pengetahuan dan
berhajat adalah sifat yang tidak kekal, dan Tuhan maha suci dari sifat-sifat
yang demikian[19].
Oleh karena itu an-Nazhzhan berpendapat Tuhan tidak
bisa dan tidak sanggup berbuat yang tidak baik, dan seterusnya wajib bagi Tuhan
untuk berbuat hanya yang baik bagi manusia, yaitu apa yang disebut dalam
istilah al-S}alah wa al-As}lah, sehingga ia berpendapat bahwa
Tuhan tak berkuasa untuk mengeluarkan orang yang telah menjadi ahli surga dari
surga dan memasukan orang yang bukan ahli neraka ke dalam neraka, dan pula
Tuhan tak berkuasa untuk mengurangi kesenangan ahli surga atau menambah siksaan
ahli neraka.
Selanjutnya sama seperti gurunya, ia berpendapat bahwa
Tuhan tanpa adanya wahyu dapat diketahui manusia dengan perantaraan kekuatan
akal. Demikian pula halnya dengan perbuatan buruk dan perbuatan baik.
4. Al-Jubbai
Nama lengkapnya ialah Abu Ali Muhammad
Abd al-Wahhab al-Jubbai. Ia menimba ilmu Ibn Yusuf Ya’quf Ibn Abdullah al-Syiham
al-Basri dan termasuk mazhab Mu’tazilah yang masyhur. Ia wafat 295 H. Dan termasuk
banyak menulis kitab-kitab teologi antara lain: Kitab al-Ushul, Kitab Asma wa al-S}ifat, Kitab al-Nafyi wa al-Istbat, Kitab
al-Ta’dil wa al-Tajrir, Kitab al-Lathif, Kitab al-Tauhid, kitab al-Ru’yat. Dalam kajian tafsir
al-Jubbai mempunyai kitab yang bermazhab Mu’tazilah yang terpenting, seperti Muqaddima al-Tafsir, Mutasyabihah al-Qur’an..
Al-Jubbai dalam menanggapi
perbuatan manusia menyatakan bahwa sebelum melakukan perbuatan, daya untuk
berbuat sesuatu telah ada dalam diri manusia sebelum perbuatan dilakukan, dan
daya itu merupakan sesuatu di luar tubuh yang baik lagi sehat.
Ia menambahkan bahwa ajaran-ajaran yang dibawa oleh para nabi diperlukan manusia
untuk mengenal besarnya balasan dan hukuman terhadap perbuatan-perbuaan
manusia. Akal manusia hanya dapat mengetahui bahwa orang yang patuh kepada Tuhan
akan mendapatkan upah dan bahwa orang yang melawan Tuhan akan mendapatkan
hukuman, dan melalui wahyulah manusia mengetahui berapa besar upah atau hukuman
itu
B. Pemuka-pemuka Paham Jabariah
1. Al-Ja’ad ibn Dirham dan Jahm ibn Safwan
Paham Jabariah ini ditonjolkan pertama
kali dalam sejarah teologi Islam oleh
al-Ja’ad ibn Dirham yang hidup pada masa pemerintahan Bani Umayyah.
Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm ibn Safwan dari Khurasan. Ia mempelajari
Paham tersebut dari al-Ja’ad ibn Dirham, ketika mereka bertemu di Kufah. Sebagaimana al-Ja’ad, Jahm
turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah dan mati dihukum bunuh pada
tahun 131 H dalam gerakan tersebut.
Masyarakat Arab telah dipengaruhi oleh esensi paham Jabariah sebelum datangnya Islam. Hal itu dapat dilihat dari
banyaknya ketergantungan mereka kepada alam dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga membawa kepada sikap fatalistis.[22]
Jahm berpendapat bahwa manusia tidak memiliki daya dan kekuasaan apa-apa, tidak
mempunyai kecenderungan dan pilihan, manusia dalam perbuatan-perbuatannya
terpaksa dan tunduk pada kemauan Tuhan semata. Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan-perbuatan pada diri manusia, sebagaimana Tuhan menciptakan
benda-benda mati. Perbuatan manusia dalam pandangan Jahm bermaksna majasi atau
kiasan. Ia tak ubahnya sebagaimana pohon berbuah , air mengalir, matahari
terbit dan terbenam dan sebagainya. Segala perbuatan manusia dipaksakan atas dirinya
sebagaimana menerima pahala dan siksaan.[23]
Dalam pada itu, paham yang dibawa oleh Jahm dapat
dikategorikan sebagai paham Jabariah ekstrim. Betapa tidak segala perbuatan manusia dimata Jahm
merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Jika seseorang membunuh
umpamanya, maka perbuatan membunuh itu
bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qada’ dan kadar Tuhan yang menghendaki demikian. Manusia
seperti kapas yang digerakkan angin, tanpa gerak dari Tuhan, manusia tak mampu
berbuat apa-apa.
2. Al-Husain ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar ibn Amr
Al-Najar adalah penganut paham Jabariah moderat yang wafat pada tahun 230 H. Al-Najjar berpendapat meskipun Tuhan
yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, tetapi manusia mempunyai bahagian
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut. Tenaga yang diciptakan dalam
diri manusia mempunyai efek yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya, dan inilah
yang disebut kasb. [24] Demikian pendapat Dirar
ibn Amr, yang berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia pada hakikatnya
diciptakan Tuhan, dan diperoleh iktisaba pada hakikatnya oleh manusia.[25]
Dengan demikian paham yang dibawa oleh al-Najjar dan
Dirar, manusia tidak lagi hanya merupakan kapas yang digerakkan angin, namun
manusia telah mempunyai bahagian yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya.
Menurut paham ini, Tuhan dan manusia dianggap bekerjasama mewujudkan
perbuatan-perbuatan manusia.
Tampaknya paham kasb yang dikembangkan oleh al-Najjar
dan Dirar, merupakan paham tengah antara faham Jabariah dan Qadariah.
3. Abu al-Hasan al-Asy’ari
Abu al-Hasan al-Asy’ari
dilahirkan di Basrah pada tahun 260 H dan wafat di baghdad pada tahun 324 H. Pada
mulanya ia adalah murid al-Jubbai dan menganut paham Mu’tazilah selama 40
tahun, sehingga menjadi salah seorang pemuka Mu’tazilah. Namun karena
alasan-alasan yang kurang begitu jelas, al-Asy’ari akhirnya meninggalkan
Mu’tazilah.
Bagi al-Asy’ari, manusia
dipandang lemah dan dalam kelemahannya banyak bergantung pada kehendak dan
kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan
dan kekuasaan mutlak Tuhan, al-Asy’ari memakai kata al-kasb. Dia menunjuk firman Allah (Q.S. al-Safat, 37 )
والله خلقكم وماتعملون
Terjemahnya : ”Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat ”
(al-shafat 37-96). Wa ma>ta’malu>n, diartikan oleh
al-Asy’ari dengan ”apa yang kamu perbuat” dan bukan ”apa yang kamu buat”. Dengan
demikian, ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan
perbuatan-perbuatan kamu. Jadi dalam pandang al-Asy’ari, perbuatan-perbuatan
manusia adalah diciptakan Tuhan dan tidak ada pembuat
(fail atau agen) bagi al-kasb kecuali Allah.
Selanjutnya dalam
memperbincangkan soal kehendak Tuhan, al-Asy’ari menegaskan bahwa Tuhan
menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Dalil yang digunakan untuk
memperkuat pendapatnya adalah firman Allah. Q.S. al-Insan (76),30
وما تشاءون الا ان يشاء الله
Terjemahnya : ”Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki ”
Al-Insan (76-30).
al-Asy’ari mengartikan bahwa
manusia tidak bisa menghendaki sesuatu kecuali jika Allah menghendaki manusia
supaya menghendaki sesuatu itu.[29] Dengan demikian,
seseorang tidak bisa menghendaki pergi ke Baitullah, kecuali jika Tuhan menghendaki seseorang itu supaya berkehendak pergi ke Baitullah. Hal ini berarti, kehendak manusia adalah satu dengan
kehendak Tuhan dan bahwa kehendak yang terdapat dalam diri manusia sebenarnya
tidak lain adalah dari kehendak Tuhan.
4. Abu Hamid al-Gazali
Dia adalah pengikut al-Asy’ari yang terpenting, ia juga
menganut paham Jabariah yang pada dasarnya sejalan dengan al-Asy’ari tentang
perbuatan manusia dan keadilan Tuhan yang memberi hukuman menurut kehendak
mutlakNya[30]
III.
Kesimpulan
Persoalan manusia dalam mewujudkan perbuatannya,
melahirkan dua paham : Qadariah dan Jabariah, paham Qadariah memandang manusia mempunyai daya dan kebebasan dalam
mewujudkan perbuatannya, sementara paham Jabariah memandang sebaliknya.
Adapun kaitannya dengan keadilan Tuhan, maka paham Jabariah
memandangnya sebagai keadilan Penguasa Absolut, Tuhan mempunyai kebebasan
mutlak dan berbuat menurut apa yang dikehendakinya. Sebaliknya paham Qadariah memandangnya sebagai keadilan penguasa konstitusional,
dimana Tuhan tidak memiliki kekuasaan mutlak karena dibatasi oleh keadilan-Nya.
Menilik dari sudut pandang akidah, kedua paham tersebut
tidaklah bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh sebab itu, menganut salah
satu dari kedua paham tersebut, tidaklah menyebabkan seseorang keluar dari
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abul A’la Al-maududi, al-K{hilafah wa al-Mulk, Dar- al-Qalam , (Kuwait; T. Tp. 1987)
Ahmad Amin, al-Fajr
al-Isla>m, (Kairo; Dar al-Kutub, 1975
Ali Musthafa al-Ghurabi, Ta>rikh al-firaq al-Isla>miah, (Kairo. Dar al-Kutub, t. th)
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah, (Jakarta; UI press 1987)
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah,
Jakarta, Jakarta; UI Press, 1986)
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teologi Filsafat Islam,
(Jakarta; Bumi Aksara 1995)
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam,
(Jakarta; Bulan Bintang, 1994)
Nurcholis Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah, (Jakarta; Yayasan Wakaf Paramadina 1994)
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta;
Yayasan Wakaf Paramadina, 1992)
Al-Syahrastani, al-Mila>l
wa al-Niha>l, (Kairo; Musthafa al-Ba>bi al-Halabi, 1968)
Toshiku Izutsu, Konsep kepercayaan dalam teologi Islam,
(Jogya; Tiara Wacana, 1994)
Seorang Akademis adalah orangyang Moderat ,,,,
BalasHapus